Dalam Islam, laki-laki haram pakai emas dan tukar cincin emas saat prosesi pernikahan bukan budaya Islam. Namun sangat disayangkan
budaya kita umat Islam telah meniru-niru budaya barat dimana laki-laki
mengenakan cincin emas saat prosesi tukar cincin atau sebagai mas kawin
pada saat acara pernikahan. Jika mengacu pada hadits-hadits Nabi
Muhammad Shallallahu‘alaihi wasallam dapat disimpulkan bahwa dalam
Islam laki-laki diharamkan pakai emas sedangkan bagi perempuan tidak.
Mengapa?
Atom pada emas mampu menembus ke dalam kulit melalui
pori-pori dan masuk ke dalam darah manusia. Jika seorang pria
mengenakan emas dalam jumlah tertentu dan dalam jangka waktu yang lama,
maka dampak yang ditimbulkan adalah di dalam darah dan urine akan mengandung
atom emas dalam kadar yang melebihi batas (dikenal dengan sebutan
migrasi emas).
Jika itu terjadi dalam jangka waktu yang lama,
maka akan mengakibatkan penyakit Al zheimer, yaitu penyakit yang dimana penderitanya kehilangan semua kemampuan mental dan
fisik. Oleh sebab itu, jika tidak dibuang,
maka dalam jangka waktu yang lama atom emas dalam darah ini akan sampai
ke otak dan memicu penyakit Al zheimer.
Lalu, mengapa Islam memperbolehkan wanita untuk mengenakan emas?
Jawabannya
adalah, “Wanita tidak menderita masalah ini karena setiap bulan,
partikel berbahaya tersebut keluar dari tubuh wanita melalui
menstruasi.” Itulah sebabnya Islam mengharamkan pria mengenakan
perhiasan emas dan membolehkan wanita memakainya.
Penyakit
yang disebabkan oleh kandungan emas ini, tidak ditemukan pada
perempuan. Penelitian tentang penyakit ini menyebutkan bahwa dalam tubuh
seorang perempuan/wanita, terdapat suatu lemak unik, lemak yang berbeda
yang tidak dimiliki seorang laki-laki dimana lemak ini akan mencegah
unsur senyawa atom emas (Au) untuk masuk ke dalam tubuh, sehingga saat
atom ini masuk, hanya mampu menembus kulit, namun tidak bisa menembus
lemak yang menghalangi jalan menuju daging dan darah.
Penelitian
lain menyebutkan bahwa di dalam tubuh seorang wanita, zat emas bisa
masuk ke dalam tubuh dan mengalir bersama darah, namun zat ini
tidak akan berbahaya karena akan dibuang bersama darah saat
haid/menstruasi. Jadi Nabi membolehkan seorang istri/wanita mengenakan
cincin/perhiasan dari emas, namun sangat dilarang bagi suami/laki-laki.
Alasan
Islam melarang pria memakai emas, telah disampaikan Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wasallam lebih dari 1400 tahun yang lalu. Padahal beliau
tidak pernah belajar ilmu fisika.
Al-Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib Radhiyallahu‘anhu, bahwa ketika
Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki memakai
cincin emas di tangannya, maka beliau memintanya supaya
mencopot cincinnya, kemudian melemparkannya ke tanah. (HR Bukhari &
Muslim).
“Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam melarang cincin emas bagi laki-laki,” (HR Bukhari No 5863 & Muslim No. 2089).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bertemu seorang lelaki yang
memakai cincin emas di tangannya. Beliau mencabut cincin tersebut lalu
melemparnya, kemudian bersabda,
« يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ
مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِى يَدِهِ »
(“Seseorang dari kalian telah
sengaja mengambil bara api neraka dengan meletakkan (cincin emas semacam
itu) di tangannya”).
Lalu, setelah Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam pergi, ada yang mengatakan kepada lelaki tadi,
“Ambillah dan manfaatkanlah cincin tersebut.” Ia berkata, “Tidak, demi
Allah. Saya tak akan mengambil cincin itu lagi selamanya karena
Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam telah membuangnya,” (HR Muslim
No. 2090, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas).
Imam
Nawawi Rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini berkata, “Seandainya
si pemilik emas tadi mengambil emas itu lagi, tidaklah haram
baginya. Ia boleh memanfaatkannya untuk dijual dan tindakan yang lain.
Akan tetapi, ia bersikap waro’ (hati-hati) untuk mengambilnya, padahal
ia bisa saja menyedekahkan emas tadi kepada yang membutuhkan karena Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam tidaklah melarang seluruh pemanfaatan
emas. Yang beliau larang adalah emas tersebut dikenakan. Namun untuk
pemanfaatan lainnya, dibolehkan,” (Syarh Shahih Muslim, 14: 56).