Cerita ini berasal dari negeri Keling. Di sana hidup seorang pedagang
yang kaya raya bernama saudagar Mangkubumi. Istrinya bernama Siti Rara.
Anaknya bernama Empu Jatmika. Setelah Empu Jatmika besar kemudian dia
kawin dengan Sari Manguntur. Dari perkawinannya ini Empu Jatmika
mendapat dua orang putra, bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat.
Saudagar Mangkubumi jatuh sakit ketika kedua cucunya masih remaja.
Semua anggota keluarga dititahkan untuk berjaga selama 40 hari, siang
dan malam. Saudagar Mangkubumi meminta supaya anak dan cucunya datang
menghadap ketika beliau hampir meninggal dunia. Kemudian dia berpesan
kepada anaknya Empu Jatmika supaya menjaga seluruh keluarga dengan
sebaik-baiknya. Selain itu beliau berpesan agar jangan kikir dan
bersikap adil terhadap setiap orang. Hendaklah anaknya menerima dan
mendengar setiap permohonan orang yang datang menghadap dengan segera.
Itulah kata-kata terakhir dari saudagar Mangkubumi.
Sebelumnya juga beliau berpesan supaya anaknya pergi merantau ke luar
negeri Keling karena di negeri Keling ini terdapat banyak orang yang
suka iri hati dan dengki. Anaknya Empu Jatmika harus mencari negeri yang
bertanah panas dan berbau harum. Untuk mengetahui hal itu hendaklah dia
menggali tanah yang didatanginya, kira-kira pada tengah malam dan
mengambilnya sekepal. Jika telah berhasil menjumpai daerah yang tanahnya
memenuhi syarat-syarat itu, hendaklah dia menetap di sana. Karena di
tempat itulah dia mendapat rahmat dan kebahagiaan. Tanaman-tanaman akan
tumbuh subur. Saudagar-saudagar akan berdagang, dan negara akan
terhindar dari gangguan musuh. Jika tanah itu harum tetapi dingin, maka
kebahagiaan dan kemakmuran hanyalah sekadar saja. Baik dan buruk ada di
dalam keadaan seimbang. Jika tanah itu berbau busuk dan lagi dingin,
maka niscaya negara itu senantiasa ditimpa bahaya. Menderita kesukaran
yang tidak putus-putusnya.
Setelah berpesan demikian, saudagar Mangkubumi menutup mata untuk
selama-lamanya. Semua keluarga berduka cita, dan meratapi dengan tangis
kesedihan. Untuk mengikuti kebiasaan pada zaman dahulu kala, upacara
pemakaman berlangsung dengan disertai pembagian beribu-ribu lembar kain
dan berpuluh-puluh ribu uang yang ditaburkan.
Mengingat akan pesan ayahnya, Empu Jatmika setuju sekali untuk
meninggalkan negerinya. Dia memerintahkan hulubalang Arya Megatsari dan
Tumenggung Tatah Jiwa untuk datang menghadap. Juga Wiramartas yang
merupakan seorang ahli bahasa. Wiramartas fasih dalam berbahasa Arab,
Persia, Melayu, Tionghoa, dan lain-lain. Kemudian Wiramartas ditunjuk
sebagai kepala dari rencana perjalanan ini.
Tidak lama kemudian, bertolaklah dari negeri Keling, armada yang
berlayar dengan dipelopori oleh kapal Si Prabayaksa. Empu Jatmika
terdapat dalam kapal pelopor ini. Tidak lama kemudian, armada berlabuh
di sebuah pulau. Tetapi ternyata pulau itu tidaklah bertanah panas dan
harum. Dengan sedikit kecewa pelayaran diteruskan. Armada kemudian
berlabuh di pulau Hujung Tanah. Sementara berlabuh Empu Jatmika tertidur
dan bermimpi. Dalam mimpinya itu dia serasa berjumpa dengan almarhum
ayahanda, yang berpesan supaya mendarat di pulau Hujung Tanah. Di
situlah dia akan menjumpai apa yang dicari.
Pagi-pagi benar pergilah Empu Jatmika dengan empat orang pengiringnya
menuju pulau Hujung Tanah. Dia mengambil tanah di sana, dan benarlah di
sini hawanya panas laksana api, harum bagai daun pudak. Dengan
batu-batu yang dibawa dari negeri Keling, dimulailah membangun sebuah
candi. Kemudian didirikan pula sebuah istana lengkap dengan balairung,
pendopo dan perbendaharaan. Dengan suatu upacara di dalam balairung,
Empu Jatmika memberikan nama kepada negara baru itu Nagara Dipa. Dia sendiri menjadi raja di negara ini dengan gelar Maharaja di Candi.
Pada waktu itu terdapat kepercayaan kepada peribahasa: “Siapa yang
tidak berdarah bangsawan, tetapi oleh karena kekayaan dapat menjadi
raja, dia akan ditimpa oleh bencana. Demikian pula bencana itu akan
menimpa mereka yang mengakui orang itu sebagai raja”! Oleh karena itu,
Empu Jatmika membuat patung dari kayu cendana. Patung inilah yang
seolah-olah dijadikan raja dan kepadanya seolah-olah diletakkan
kekuasaan yang tertinggi. Ahli-ahli tatah ukir membuat dua buah patung,
yang berwujud seorang laki-laki dan seorang perempuan. Patung-patung itu
dihiasi dengan seindah-indahnya dan diukup dengan dupa serta
wangi-wangian kemudian diletakkan dalam candi. Setiap hari Jumat
datanglah raja mengunjungi patung-patung itu.
Pada suatu ketika raja menitahkan supaya Hulubalang Arya Megatsari
membawa tentara 1000 orang untuk menaklukkan daerah Batang Tabalong,
Batang Balangan, dan Batang Pitap. Dengan kekuasaan tentara yang sama
pula, berangkatlah Tumenggung Tatah Jiwa ke daerah Batang Alai, Batang
Hamandit, dan Labuan Emas. Kedua ekspedisi ini berhasil. Semua
pemimpin-pemimpin rakyat di daerah yang ditaklukkan itu dibawa menghadap
raja. Mereka semua diwajibkan untuk tunduk kepada perintah kedua
hulubalang. Setiap musim panen mereka haruslah menyerahkan upeti yang
jumlahnya telah ditetapkan. Setelah dijamu secara mewah, semua pemimpin
itu diperkenankan kembali ke daerah masing-masing, dengan perjanjian
tidak akan lagi bermusuhan antarsesama mereka.
Sesudah pemimpin-pemimpin itu kembali ke daerah masing-masing, raja
mencurahkan perhatiannya kepada keadaan istana. Segala peraturan,
susunan pegawai, upacara istana disesuaikan dengan tatakrama Majapahit.
Ketika semua peraturan telah tersusun dengan baik, Empu Jatmika
mengirimkan armada ke negeri Keling. Di bawah pimpinan nakhoda Lampung,
mereka menjemput keluarga dan harta benda yang berharga yang masih
ketinggalan.
Di dalam perjalanan pulang armada ini dilanda angin taufan.
Kapal-kapal terserak ke sana ke mari, sebagian hanyut ke Laut Kidul.
Akibatnya banyak anak buah kapal yang tewas. Sisa dari armada itu tiba
kembali ke Nagaradipa dengan selamat. Para nakhoda mendapat hadiah. Di
antaranya sebuah pedang yang indah permai.
Pada suatu upacara yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu,
raja memberitahukan kepada Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa,
keinginannya untuk mengganti patung-patung kayu yang lambat-laun telah
menjadi lapuk dengan patung dari gangsa. Ketika itu raja mengetahui
bahwa bangsa Tiongkok adalah bangsa yang pandai dan ahli dalam pembuatan
patung gangsa. Maka beliau memutuskan untuk mengutus Wiramartas
menghadap Raja Tiongkok dengan membawa bingkisan yang berharga,
diantaranya terdapat 10 ekor kera jenis orang hutan.
Dengan tidak banyak mendapat kesukaran, utusan di bawah pimpinan
Wiramartas itu tiba di Tiongkok. Di dalam suatu sidang resmi, Wiramartas
mempersembahkan surat dari raja Negara Dipa. Seorang pandita Raja
Tiongkok membacakan surat tersebut. Kemudian Raja Tiongkok menitahkan
supaya memenuhi permintaan Raja Negaradipa. Kemudian Raja Tiongkok masuk
ke dalam istana. Setelah musim baik tiba, berlayar pulanglah
Wiramartas. Empat puluh orang ahli patung milik Raja Tiongkok ikut
serta. Selain itu, dikirim pula berbagai aneka macam hadiah, seperti
tikar permadani, kain sutera dan barang-barang porselen. Wiramartas
sendiri mendapat hadiah pakaian yang indah dan sebilah pedang Jepang.
Setelah Wiramartas sampai di pelabuhan Negara Dipa, utusan ini
disambut secara meriah. Dalam sidang, Wiramartas menyampaikan laporan
dari perjalanan dan membacakan surat dari Raja Tiongkok. Wiramartas
dengan pengiring-pengiringnya diberi hadiah, yakni sebagai balas jasa
atas menjalankan kewajibannya dengan sangat baik. Kepada Wargasari,
bendahara raja, diserahkan bingkisan Raja Tiongkok. Sedangkan Arya
Megatsari diperintahkan untuk menjaga ahli-ahli seni rupa bangsa
Tionghoa itu.
Dalam waktu yang singkat, ahli-ahli bangsa Tiongkok itu selesai
dengan tugas mereka. Dua patung gangsa yang berbentuk seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang ukurannya sebesar anak kecil, diserahkan
kepada raja. Raja sangat mengagumi pekerjaan para ahli itu. Kemudian
raja menitahkan untuk melemparkan patung-patung dari kayu cendana ke
dalam laut, dan menempatkan patung gangsa sebagai gantinya di dalam
candi. Empat puluh pandita dititahkan untuk menjaga patung-patung itu.
Di dalam waktu tertentu, mereka harus membersihkan dan menggosoknya
dengan pasir halus, agar patung itu tidak berkarat. Kemudian diusap
dengan narawastu dan diasapi dengan kemenyan. Setiap malam Sabtu,
haruslah pandita-pandita itu menaburi patung-patung itu dengan bunga
melati, cempaka, dan bunga pudak.
Di zaman itu, Negara Dipa termasyhur ke mana-mana. Pembentukan negara
dan cara pemerintahan mengikuti adat dari kerajaan Majapahit. Pakaian
dan kebiasaan harus meniru pula pakaian adat dan kebiasaan Jawa. Malah
raja tidak lagi menghendaki rakyatnya berpakaian secara Keling atau
Melayu. Karena Negara Dipa adalah negara yang berdiri sendiri dan
haruslah mengambil bentuk yang selaras dan pantas. Selanjutnya raja
memperingatkan rakyatnya, jangan menanam lada untuk perdagangan seperti
di Sriwijaya. Sebab di tempat tumbuhnya lada, akan terdapat kekurangan
bahan makanan. Tumbuh-tumbuhan tidak akan tumbuh subur oleh hawa panas
lada. Negara akan menerima kesukaran dan pemerintahan akan runtuh. Jika
orang ingin menanam juga lada, hendaknya jangan lebih dari empat sampai
lima rumpun, yakni sekadar cukup untuk keperluan sendiri.
Beberapa lama kemudian Empu Jatmika jatuh sakit. Banyak tabib yang
didatangkan, tapi tidak berhasil. Siang dan malam banyak rakyat yang
berjaga-jaga di sekitar istana. Akhirnya raja menitahkan agar kedua
putranya menghadap. Juga kedua hulubalang, Arya Megatsari dan Tumenggung
Tatah Jiwa. Dengan tegas raja memperingatkan agar kedua putranya jangan
menerima kehormatan untuk menjadi raja. Sebab bencana dan malapetaka
akan selalu menimpa setiap orang yang menjadi raja, jika dia bukan
berasal dari kaum bangsawan. Beliau sendiri meletakkan kekuasaan pada
patung-patung karena khawatir di timpa bencana. Jika beliau mangkat
haruslah patung-patung itu dilemparkan ke laut. Sedangkan putra-putranya
dititahkan mencari raja manusia dengan jalan Empu Mandastana haruslah
bertapa di gunung, di dalam gua atau di pohon-pohon besar. Sedangkan
Lambung Mangkurat haruslah bertapa di pusaran air yang dalam. Sesudah
memberikan peringatan ini, rajapun mangkat.
Pemakaman jenazah baginda dilakukan dengan upacara kebesaran.
Kemudian oleh pandita-pandita dilakukan upacara membuang patung-patung
ke dalam laut. Kemudian Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat pergi
bertapa memenuhi anjuran ayahanda mereka, Empu Jatmika. Dua tahun
lamanya mereka hidup mengasingkan diri, dengan mengurangi makan, minum,
dan tidur. Akan tetapi, yang diharap-harap belum juga tiba, sehingga
mereka telah berniat untuk pulang kembali.
Pada suatu malam Lambung Mangkurat bermimpi. Dalam mimpinya seolah
mendengar suara almarhum ayahandanya. Beliau menganjurkan supaya Lambung
Mangkurat membuat rakit-rakit dari 14 batang pohon pisang saba dengan
berlangit-langit kain putih. Di empat sudut digantungkan mayang
mengurai. Lambung Mangkurat harus pula membakar dupa, dan berhanyut ke
hilir sungai dengan tidak merasa gentar, bila seandainya bertemu buaya,
ikan, dan ular besar. Jika dia dan rakitnya sampai di Lubuk Bargaja,
maka rakit itu akan berputar di pusaran air. Kalau pusaran air ini
tenang kembali, dia akan melihat sebuah buih raksasa. Dari dalam buih
ini akan terdengar suara perempuan yang berbicara kepadanya. Perempuan
inilah yang akan menjadi raja putri Negara Dipa.
Besok harinya Lambung Mangkurat melaksanakan petunjuk yang terdapat
dalam mimpinya. Dengan rakit yang memenuhi syarat seperti yang
dikehendaki, diapun berhanyut ke hilir. Dengan tidak merasa takut,
walaupun sepanjang jalan bertemu dengan buaya, ikan, dan ular-ular
besar.
Akhirnya dia melihat buih yang bercahaya-cahaya timbul ke permukaan
air. Suatu suara yang lemah lembut dan merdu bertanya: “Lambung Mangkurat,
apakah yang engkau perbuat di sini?” Lambung Mangkurat pun menjawab:
“Hamba mencari seorang raja untuk memerintah di Negara Dipa!” Suara itu
kedengaran lagi. “Lambung Mangkurat, aku adalah raja putri, Putri Junjung
Buih yang engkau cari!”. Lambung Mangkurat terus berjanji mempersembahkan
candi sebagai istana. Tetapi Putri Junjung Buih menolak tinggal di sana.
Karena di situ pernah di letakkan patung-patung yang dijadikan berhala.
Dia meminta supaya membangun sebuah mahligai. Sebagai tiangnya haruslah
diambil 4 pohon batung batulis dari gunung Batu Piring. Mahligai itu
haruslah selesai dikerjakan di dalam satu hari. Selanjutnya empat puluh
orang gadis harus menyelesaikan selembar kain kuning yang panjangnya 7
meter dan lebarnya 2 meter. Kain itu akan digunakan oleh putri sebagai
selendang jika dia bepergian.
Setelah mengetahui hal ini semua, Lambung Mangkurat pun segera
memberitahukan peristiwa ini kepada Empu Mandastana. Rakyat dilarang
melayari sungai tersebut sebelum putri naik ke mahligai. Empat orang
patih mendapat perintah untuk mengambil 4 pohon batung batulis.
Benarlah, pada hari itu permintaan Putri Junjung Buih selesai, seperti
mahligai. Sedangkan keempat puluh orang gadis dapat pula memenuhi
kewajiban yang dipikulkan kepada mereka untuk membuat selembar kain
langgundi.
Dengan suatu upacara kebesaran, berangkatlah Lambung Mangkurat
menjemput sang Putri Junjung Buih dengan diiringi oleh 40 orang gadis
yang berpakaian kuning. Dengan khidmat kain kuningpun dipersembahkan
kepada Putri Tunjung Buih. Bercahaya-cahaya, gilang-gemilang keluarlah
putri dari dalam buih, berpakaian rapi dan berselendang kain kuning yang
dibuat oleh para gadis. Dengan diiringi oleh rakyat, berangkatlah Putri
Junjung Buih menuju mahligainya. Hanya 40 orang gadis pengiring yang
diperkenankan tinggal bersama Putri.
Kini Putri Junjung Buih pun menjadi raja di Negara Dipa. Di dalam
wujudnya, pemerintahan diserahkan kepada kebijaksanaan Lambung Mangkurat,
walaupun dia adalah adik dari Empu Mandastana. Dan ia pulalah yang
memberikan keputusan-keputusan yang penting di dalam soal yang bertalian
dengan urusan negara.
Pada suatu hari Lambung Mangkurat menghadap Putri Junjung Buih, dengan
maksud menanyakan apakah dia tidak akan memilih suami. Dengan tegas
Putri Junjung Buih itu menjawab: “bahwa dia hanya akan kawin dengan
seorang laki-laki yang diperoleh dengan bertapa”. Jawaban ini
menimbulkan kesukaran yang tidak mudah dipecahkan. Dengan agak malu
Lambung Mangkurat memohon diri pulang.
Adapun Empu Mandastana berputra dua orang, yaitu Bangbang Sukmaraga
dan Bangbang Patmaraga. Setiap hari, kedua anak muda itu bermain di
sekitar mahligai Putri Junjung Buih. Banyak anak gadis yang jatuh cinta
kepada kedua anak muda ini. Mereka menjalin pantun dan menggubah seloka
untuk menyatakan kerinduan mereka.
Pada suatu hari Putri Junjung Buih melihat kedua anak muda itu,
hingga diketahuinya kedua anak itu adalah putra-putra dari Empu
Mandastana. Sekadar untuk memberi hadiah sebagai tanda kebahagiaan
hatinya, Putri Junjung Buih memberi sekuntum bunga nagasari kepada
mereka. Bunga nagasari pada waktu itu belum tumbuh di Negara Dipa.
Tetapi malang, tepat pada saat itu paman mereka, Lambung Mangkurat lewat
di sana.
Dengan gusar dan cemburu Lambung Mangkurat menanyakan apa yang mereka
perbuat di sekitar istana itu. Kemudian ia melarang kedua putra kakaknya
itu untuk datang bermain-main di dekat kediaman raja. Hal itu karena
Lambung Mangkurat berpendapat, kalau nanti sampai Putri Junjung Buih ingin
bersuamikan salah seorang dari kemenakannya, maka dia kelak sebagai
paman akan menyembah anak kakaknya. Akhirnya ia mengambil keputusan
untuk menyingkirkan kedua anak muda itu.
Pada suatu hari dengan alasan bersama-sama akan pergi mencari ikan,
ia mengajak kedua kemenakannya, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang
Patmaraga ke hulu sungai. Kedua anak itu menurut saja ajakan pamannya
itu. Namun sebelum berangkat, mereka telah bermohon dan menyatakan
selamat berpisah kepada ayah dan bunda mereka. Hal inilah yang kemudian
menjadi pangkal kecurigaan.
Menjelang keberangkatan, Bangbang Sukmaraga menanam sebatang pohon
kembang melati di sebelah kanan dari pintu rumah, sedangkan adiknya
Bangbang Patmaraga menanam sebatang kembang merah di sebelah kiri,
seraya berkata: “Jika daun-daun ini rontok berguguran, maka itulah
tandanya kami berdua kakak beradik mati dibunuh oleh paman Lambung
Mangkurat”!
Dengan berbaju putih, mereka pergi ke perahu, sedangkan Lambung
Mangkurat telah datang terlebih dahulu menunggu mereka. Mereka
bersama-sama berangkat dengan perahu ke hulu sungai hingga sampai di
Batang Tabalong. Di sinilah kedua anak kakaknya tersebut dibunuh. Lambung
Mangkurat menjadi keheran-heranan setelah mengetahui bahwa mayat
Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga hilang lenyap seketika itu
juga. Sampai sekarang tempat pembunuhan ini masih dikenal dengan nama
Lubuk Badangsanak.
Empu Mandastana dan istrinya yang sedang dalam keadaan cemas dan
khawatir menunggu kabar anaknya, tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya
sejoli burung merak. Yang jantan hinggap di pangkuan Empu Mandastana dan
yang betina di pangkuan istrinya. Maklum akan tanda-tanda ini,
berdebar-debarlah hati Empu Mandastana dan istrinya. Seolah-olah mereka
tahu bahwa kedua putra mereka telah mati dibunuh. Dengan serempak mereka
menengok pohon-pohon yang ditanam oleh putra-putranya. Ketika melihat
pohon-pohon itu, berlinanganlah air mata mereka karena daun-daun pohon
itu satu demi satu berguguran. Segera mereka mengambil keputusan untuk
mengikuti nasib kedua putranya, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang
Patmaraga. Setibanya mereka kembali ke candi, Empu Mandastana menikam
dirinya dengan sebuah keris Keling yang bernama Parung Sari dan istrinya
dengan Lading Malela.
Beberapa hari kemudian barulah Lembu Mangkurat mengetahui kematian
kakaknya. Ia menanyakan kepada semua pengiring di manakah mereka paling
akhir melihatnya. Tetapi walaupun sudah diselidiki dengan saksama,
orang-orang tidak juga menjumpai Empu Mandastana dan istrinya. Sambil
menduga apa yang mungkin terjadi, Lembu Mangkurat pergi menuju Candi. Di
sana dia menjumpai kedua sosok tubuh yang telah menjadi mayat,
terbaring tenang laksana tidur, sedangkan keris dan lading untuk bunuh
diri tergeletak di samping mereka masing-masing. Di sekelilingnya tampak
banyak burung yang mati bergelimpangan karena terbang melangkahi kedua
mayat keramat itu.
Lambung Mangkurat memerintahkan pengiring-pengiringnya untuk membuang
kedua mayat itu serta tanah-tanah tempat mayat itu terbaring ke laut. Di
tempat itu kemudian menjadi sebuah telaga yang sampai sekarang
dinamakan Telaga Raha. Konon jika ada seorang yang dianggap bersalah dan
dibunuh, maka kelihatan air Telaga Raha itu akan berwarna
kemerah-merahan selama dua puluh empat jam. Demikian pula halnya dengan
sungai yang berhulu dari gunung Batu Piring, yaitu gunung tempat
mengambil batung batulis untuk membuat tiang mahligai Putri Junjung
Buih. Sampai sekarang sungai ini masih terkenal dengan nama Sungai
Darah.
Pada suatu malam Lembu Mangkurat bermimpi bahwa almarhum ayahandanya
menceritakan bahwa Raja Majapahit ketika bertapa mendapat seorang putera
yang layak untuk menjadi suami Putri Junjung Buih. Di dalam mimpinya
diceritakan bahwa semula Raja Majapahit mendapat nasihat dari seorang
tua supaya bertapa di gunung Majapahit dan kelak malaikat dari kayangan
akan memberikan baginda seorang putera. Jika baginda menjaga anak ini
baik-baik, kekuasaan dan kemasyhurannya akan bertambah luas. Selain itu
sebagai tanda rahmat kebahagiaan, akan lahir lagi enam orang anak. Pada
keesokan harinya, Raja Majapahit berangkat bertapa ke gunung tersebut.
Sesudah empat puluh hari lamanya beliau bertapa, baginda benar-benar
mendapat karunia seorang putra yang diberi nama Raden Putra. Kemudian
baginda kembali ke istana. Sesudah beberapa lama akhirnya lahir enam
orang anak, tiga orang putra dan tiga orang putri. Kekuasaan Majapahit
kian hari kian bertambah besar. Demikianlah cerita yang disampaikan oleh
almarhum ayahandanya di dalam mimpi.
Berdasarkan mimpinya itu, Lembu Mangkuratpun memerintahkan dengan
segera untuk menyiapkan kapal Si Prabayaksa dan kapal-kapal lainnya.
Selain Wiramartas, ikut pula empat orang patih serta sepuluh orang
nakhoda, Puspawana, Wangsanala, dan Sarageni. Rombongan ini berangkat
dari Negaradipa dan langsung dipimpin oleh Lembu Mangkurat. Tidak lama
kemudian sampailah mereka di pelabuhan Majapahit.
Ketika Syahbandar Pelabuhan Majapahit menerima kabar tersebut, maka
iapun pergi ke pangkalan untuk menyaksikan sendiri orang asing yang
datang itu. Betapa terkejut hatinya ketika melihat begitu banyak kapal
yang berlabuh, sehingga keluar dari mulutnya: “selama orang-orang asing
datang ke sini, belum pernah seperti ini”! Syahbandar Pelabuhan
Majapahit segera kembali dengan membawa kabar, bahwa orang-orang asing
itu berasal dari Negara Dipa di bawah pimpinan Lembu Mangkurat. Mereka
datang dengan maksud mengunjungi Raja Majapahit. Dengan segera
Syahbandar pelabuhan pergi ke istana kerajaan Majapahit dan menyampaikan
laporan kepada Patih Gajah Mada. Kemudian Patih Gajah Mada menyampaikan
berita ini kepada Raja Majapahit.
Berita kedatangan Lembu Mangkurat ini menimbulkan kekhawatiran Raja
Majapahit, yang selama ini tidak pernah merasa gentar kepada raja asing
mana pun. Meskipun demikian, beliau tetap mempersilakan Lembu Mangkurat
untuk menghadap. Dengan berpakaian kebesaran yang gemerlapan,
berangkatlah Lembu Mangkurat menunggang kuda putih didampingi oleh para
pengawal yang bersenjata pedang. Para patih, hulubalang dan
nakhoda-nakhoda berbaris pula mengikuti mereka dengan pakaian kebesaran
yang indah. Paling belakang terdapat barisan dari lima ratus tentara
yang berjalan kaki dan lima ratus orang yang menunggang kuda.
Arak-arakan seindah itu belum pernah terlihat di Majapahit.
Sesudah tiga hari, barisanpun sampai di dalam kota. Di Sitiluhur
telah menunggu Patih Gajah Mada, Arya Dilah, Arya Jamba, Rangga Lawe,
Arya Sinom, Kuda Pikatan, Hajaran Panulih, dan Dipati Lampur. Sejurus
kemudian terdengarlah dentuman senapan yang memberikan tanda bahwa raja
akan keluar dari istana. Dengan diiringi bunyi gamelan, raja berjalan
keluar. Di atas panggung terdengar gamelan membunyikan lagu lokananta,
sedang di Paseban dibunyikan galaganjur. Tombak upacara, bendera, dan
panji-panji dibawa ke hadapan raja. Beberapa rombongan masing-masing
terdiri atas empat puluh orang, datang berbaris dengan memakai pakaian
seragam yang indah. Kemudian raja duduk di Sitiluhur, sedangkan untuk
pengawalan ditempatkan Singanegara (polisi) sebanyak empat ratus orang
di sekeliling istana. Di hadapan raja duduk pula dua ratus orang wanita
dengan memakai sarung yang keemas-emasan. Mereka adalah para pengiring
yang diwajibkan untuk membawa keperluan-keperluan raja, seperti tikar,
kendi, alat merokok, dan sebagainya. Lembu Mangkurat dipersilakan masuk
ke ruang tamu istana didampingi oleh empat orang patih yang duduk di
belakangnya.
Tak lama kemudian Patih Gajah Mada memasuki ruang tamu. Beliau
menyalami tangan Lembu Mangkurat, kemudian menanyakan maksud
kedatangannya. “Kami datang untuk menghadap Raja Majapahit”! kata Lembu
Mangkurat. Kemudian Patih Gajah Mada menanyakan lagi apa gerangan yang
diinginkan Lembu Mangkurat yang lain. Kalau diperkanankan ia akan
membawa anak Raja Majapahit ke Negara Dipa untuk dikawinkan dengan Putri
Junjung Buih, raja dari kerajaan Negara Dipa. Sesudah itu Lembu
Mangkurat juga menyerahkan bingkisan-bingkisan yang berharga.
Patih Gajah Mada kemudian menerangkan bahwa baginda tidak mempunyai
anak lagi. Enam orang putra-putri telah kawin semuanya. Kemudian Lembu
Mangkurat menerangkan bahwa ia hanya menghendaki putera Raja Majapahit
yang diperoleh dari bertapa. Akhirnya Raja Majapahit berjanji akan
menyerahkan sesudah tujuh hari kepada Lembu Mangkurat. Kemudian Raja
Majapahit meninggalkan ruang tamu dengan diiringi bunyi gamelan. Patih
Gajah Mada ditunjuk untuk menjamu Lembu Mangkurat beserta pengiringnya.
Tujuh hari tujuh malam secara terus-menerus diadakan perayaan untuk
menghormati tamu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan seperti
topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang gedog, dan sebagainya. Selain
itu, diadakan pula pertandingan ketangkasan keprajuritan. Setelah tiba
waktunya, benarlah raja dengan ikhlas menyerahkan putranya yang bernama
Raden Putra. Lembu Mangkurat mendapat banyak hadiah dari Raja Majapahit
untuk dibawa pulang seperti dua payung besar, dua payung kertas, dua
bedil cacorong, satu keris Jaka Piturun, satu gamelan Si Rarasati, satu
babande Si Macan, satu pepatuk Si Mundaran.
Raden Putra pun diusung dalam tandu dibawa menuju ke pelabuhan.
Iring-iringan kapal berangkat dengan segera dan dalam empat hari
sampailah di Pendamaran.
Angin tiba-tiba berhenti bertiup, reda, teduh, dan laut menjadi
tenang. Apapun juga telah diperbuat, namun kapal yang ditumpangi Raden
Putra tak juga bergerak. Semuanya telah putus asa. Ketika itu berkatalah
Raden Putra bahwa ada dua ekor naga putih, yang merupakan rakyat dari
Putri Junjung Buih melilit dan menahan kapal. Raden Putra menyatakan
bahwa dia siap melompat ke laut untuk mengusirnya. Sekarang Lembu
Mangkurat mengakui kelebihan Raden Putra. Lembu Mangkurat yang semula
tidak menunjukkan ketakutan terhadap Raja Majapahit, kini menghatur
sembah kepada Raden Putra. Raden Putra meminta supaya menunggu tiga hari
kepada Lembu Mangkurat. Jika sesudah tiga hari belum timbul juga,
haruslah dilakukan puja bantani, karena dengan melakukan puja tersebut
tentu dia akan segera timbul kembali.
Dengan hati yang berdebar-debar setelah mereka menunggu selama tiga
hari, tetapi Raden Putra belum timbul juga. Wiramartaspun lalu diutus
lebih dahulu untuk mengambil kerbau, kambing, dan ayam ke Negara Dipa.
Diapun juga diwajibkan untuk membawa menteri-menteri untuk menyambut
segala hadiah dari Raja Majapahit. Setelah Wiramartas tiba di Negara
Dipa membawa berita, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa pun
memerintahkan menteri-menteri berlayar ke Pendamaran.
Sesudah diadakan upacara puja bantani tujuh hari tujuh malam,
tampaklah tiba-tiba Raden Putra muncul ke permukaan air dengan muka
berseri-seri dan bercahaya, memakai baju sutera kuning yang indah dan
menakjubkan, serta kaki Raden Putra bepijak di atas sebuah gong besar.
Setelah Raden Putra naik ke geladak kapal, Lembu Mangkurat mengait gong
besar itu dengan paradah. Oleh karena itu, gong besar tersebut sampai
sekarang tetap dikenal dengan nama Si Rabut Paradah.
Raden Putra selanjutnya bergelar Suryanata. Surya artinya matahari,
nata artinya raja. Tempat berhenti dan memuja di Pendamaran itu sampai
sekarang dinamai Perbantanan.
Kemudian pelayaran diteruskan menyusuri sungai menuju Negara Dipa.
Suryanata mendapat tempat tinggal di istana yang pernah didiami oleh
Empu Jatmika. Dari daerah Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan,
Pitap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sabangau, Mendawai, Katingan, Sampit
dan Pembuang datanglah rakyat berduyun-duyun menyampaikan penghormatan
kepada Raden Suryanata. Empat puluh hari, empat puluh malam lamanya
diadakan perayaan dan pertunjukan, wayang, topeng, rakit, joget. Pada
tengah malam pemuda-pemudi para pembesar kerajaan mendirikan padudusan
(tempat upacara mandi), sedang orang-orang yang disebut “kadang haji”
diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan. Istana,
pagungan, sitiluhur dan paseban dihiasi dengan indah.
Dari segala pelosok membanjirlah rakyat hendak menyaksikan dan
mengagumi kemeriahan upacara perkawinan Putri Junjung Buih dengan Raden
Putra Suryanata. Pada hari upacara padudusan, Suryanata memakai pakaian
upacara perkawinan, demikian pula halnya dengan Raja Junjung Buih. Putri
Junjung Buih berpakaian dengan hanya boleh dihadiri oleh empat puluh
orang gadis dan wanita-wanita dari pembesar istana. Sebagai selendang
dipakaikanlah kain yang dikenakan puteri ketika baru timbul dari dalam
air. Putri Junjung Buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis yang
jelita. Semuanya memakai baju sutera kuning, sedang pengiring buat
Suryanata adalah anak-anak para menteri yang diwajibkan antara lain
membawa alat-alat merokok, alat menginang, tikar dan sebagainya. Baik
kaki mempelai perempuan maupun kaki mempelai laki-laki dibungkus dengan
sutera kuning.
Setelah Suryanata selesai berpakaian, diapun melangkah keluar, dan
tiba-tiba terdengarlah suara: “Oh Raden Suryanata, janganlah turun
sebelum memakai Mahkota dari langit. Mahkota ini sebagai tanda menjadi
raja lebih besar dari raja-raja di bawah angin”. Selanjutnya suara gaib
itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat kesaktian dapat
menjadi lebih berat atau menjadi lebih ringan, atau menjadi lebih besar
atau menjadi lebih kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok,
dialah yang dapat menjadi raja. Dengan sangat khidmat Raden Suryanata
mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yang dibuat oleh
para gadis disambutnyalah mahkota itu dan diletakkan di kepala. Raden
Suryanata kemudian duduk dalam sebuah usungan.
Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan rentetan dentuman bedil serta
tepuk sorak dari rakyat, maka usungan pun diusung menuju istana mempelai
perempuan. Sampai di sini maka Putri Junjung Buihpun dijemput dan
arak-arakan terus menuju ke padudusan. Kedua mempelai turun dari usungan
dan duduk di atas empat kepala kerbau dan kemudian naik di panggung
yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara terkemuka dan penghulu
dari bujangga-bujangga di padudusan. Dengan penuh hormat dan khidmat
Lembu Mangkurat mula-mula menyiramkan air mandi di atas ubun-ubun
mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megatsari,
Temenggung Tatah Jiwa, dan penghulu tertinggi dari bujangga-bujangga,
yang melakukan penyiraman sambil mengucap mantera dan doa selamat.
Ketika telah selesai dengan upacara itu, ditaburkanlah beras kuning dan
mata uang berpuluh-puluh ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan
rentetan dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Kedua mempelai dibawa ke istana. Di sini kedua pengantin makan
bersama-sama dengan nasi adap-adap, sedangkan menteri-menteri pun
mendapat bagiannya pula. Sesudah berlangsung tiga hari, tiga malam,
barulah kedua mempelai berkumpul, pada waktu subuh. Untuk merayakan
kejadian yang menggembirakan ini, gong Si Rabut Paradah dipalu, sedang
rarancakan Si Rarasati dibunyikan dan senapan-senapan ditembakkan
berdentum-dentuman. Kebiasaan seperti ini masih terus berlaku terutama
pada upacara perkawinan kaum bangsawan.
Masih tujuh hari tujuh malam perayaan diteruskan bertempat di
Paseban. Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam,
wayang, topeng, dan kecakapan bermain senjata. Keempat puluh orang anak
dara mendapat kewajiban masing-masing, diantaranya menjadi parakan,
penjogetan, penjaga tempat tidur, makanan, minuman, sirih pinang, dan
alat perhiasan.
Setiap Sabtu raja memberikan kesempatan bawahan dan rakyat untuk
menghadapnya di Sitiluhur. Tidak berapa lama kemudian, permaisuri hamil.
Karena permaisuri mengidam, ingin sekali memakan buah jambu dipa, maka
dikirimlah utusan ke Majapahit untuk mengambilkan buah yang diinginkan
itu. Sekadar bahan bingkisan untuk Raja Majapahit dikirim seperti lilin,
damar, rotan, tikar, dan dua buah intan yang besar.
Kapal berlayar di bawah pimpinan nakhoda Lampung yang segera sampai
di Majapahit. Dengan perantaraan Patih Gajah Mada, beliau dibawa
menghadap Raja Majapahit. Raja sangat girang setelah mendengar berita
yang menggembirakan itu dan dengan segera menitahkan menyerahkan
buah-buahan yang diinginkan dengan ditaruh di dalam kotak emas. Nakhoda
Lampung segera mohon diri dan berlayar kembali dengan membawa
hadiah-hadiah yang berupa beras, kelapa, gula, minyak kelapa, asam
kamal, bawang, rempah-rempah dan kain-kain batik yang indah. Setibanya
di Negara Dipa, ia dianugerahi pula oleh Maharaja Suryanata karena telah
berhasil dengan baik menjalankan perintah yang dititahkan kepadanya.
Setelah cukup bulannya, dan harinya, permaisuripun melahirkan seorang
Putra, yang diberi nama Raden Suryaganggawangsa. Peristiwa ini
dirayakan dengan membunyikan Si Rabut Paradah, gamelan Si Rarasati, dan
senapan-senapan. Kebiasaan ini masih diadakan pada setiap lahirnya anak
raja berikutnya.
Beberapa tahun kemudian permaisuri melahirkan kembali seorang putra
yang bernama Raden Suryawangsa. Di zaman itu yang takluk kepada Maharaja
Suryanata adalah raja-raja Sukadana, Sanggau, dan Sambas, kepala-kepala
daerah Batang Lawai, dan Kotawaringin. Juga raja-raja Pasir, Kutai,
Karasikan, dan Berau tunduk pula kepada Negara Dipa.
Pada suatu hari raja mengadakan pesta untuk segala Punggawa. Orang
ramai bersuka ria. Dengan senda gurau dan gelak tawa. Tetapi
sekonyong-konyong raja mengabarkan berita yang mengejutkan mereka, bahwa
raja dan permaisuri akan “kembali ke asal”. Oleh karena itu, kedua
putra mereka dipercayakan dibimbing atau diasuh Lembu Mangkurat.
Rakyatnya diperingatkan jangan meniru-niru pakaian bangsa lain, dan adat
serta susunan pemerintahan hendaklah menurut Jawa. Sebab tidak ada satu
daerah di bawah angin yang akan dapat menyaingi Jawa. Jadi janganlah
pernah menyimpang dari adat Majapahit. Selanjutnya raja mengulangi
peringatan raja yang terdahulu, yaitu jangan menanam lada untuk
perdagangan karena hal ini akan membawa runtuhnya negara. Juga jangan
sekali-sekali menangkap orang-orang yang celaka oleh kekaraman kapal.
Setelah mengucapkan amanat dan pesan itu, dengan tiba-tiba lenyap dan
gaiblah raja beserta permaisuri dari pandangan rakyat yang merasa heran
dan takjub. Seluruh negara turut bersedih dan berkabung.
Sebagai pengganti Maharaja Suryanata, dinobatkanlah Raden
Suryaganggawangsa di padudusan dan di sinilah raja memakai mahkota yang
datang dari langit. Setelah Raden Suryaganggawangsa memerintah, rajapun
memperkenankan pulang gadis-gadis yang menjadi dayang Maharaja
Suryanata. Raja memberi hadiah berupa pakaian dan alat-alat perkakas
rumah. Bagi mereka yang ingin kawin, dikawinkan oleh raja.
Setelah Maharaja Suryanata, begitupun Maharaja Suryaganggawangsa
memberikan pula kesempatan untuk menghadap setiap hari Sabtu dengan
bertempat di Sitiluhur. Lembu Mangkurat diangkat menjadi Mangkubumi,
sedang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa adalah sebagai pengawal.
Di bawahnya sebagai jaksa adalah Patih Baras, Patih Wasi, Patih Luhur
dan Patih Dulu. Kemudian empat orang Menteri Kemakmuran, Sang Panimba
Sagara, Sang Pangaruntun Manau, Sang Pambalah Batung dan Sang Jampang
Sasak, yang mempunyai kekuasaan memerintah atas empat puluh orang
pasukan keamanan. Juga saudara raja, Pangeran Suryawangsa yang mendapat
gelar Dipati mempunyai pula seribu pengiring yang setiap saat siap
menerima perintah Mangkubumi.
Lembu Mangkurat selalu mendorong beliau agar cepat beristri karena
raja belum mempunyai permaisuri. Namun semua dorongan dan anjuran itu
tidak berhasil. Pada suatu hari raja berkata bahwa dia mendengar suara
dari paduka ayahanda yang telah gaib (meninggal dunia), mengatakan bahwa
raja harus kawin dengan anak Dayang Diparaja. Lembu Mangkurat merasa
malu dan khawatir karena dimanakah harus mencari permaisuri yang
dimaksudkan itu? Arya Megatsari dan Temenggung Tatah Jiwa tidak dapat
pula memberikan keputusan.
Oleh karena itu, dicobalah mengirimkan utusan ke semua pelosok,
tetapi kebanyakan pulang dengan tangan hampa. Pada suatu hari, rombongan
Singanegara (polisi) yang di dalam perjalanan memudiki sungai sampai di
Tanggahulin, di pangkalan Arya Malingkun. Di sini mereka menemui
seorang gadis yang sedang mandi di bawah pengawasan seorang pengawalnya.
Ketika dia melihat rombongan Singanegara, ia terkejut dan berteriak
“He, Dayang Diparaja, lekas! Itu datang rombongan Singanegara (polisi)”.
Ketika rombongan Singanegara mendengar nama ini, mereka segera
berdayung pulang kembali untuk memberi kabar pada Lembu Mangkurat.
Singantaka dan Singapati, keduanya kepala dari barisan Singanegara
(polisi). Mendapat perintah untuk meminta kepada Arya Malingkun,
anaknya, guna dijadikan permaisuri raja. Mereka berangkat dengan empat
puluh orang perempuan yang akan menjadi pengiring menuju ke Tanggahulin.
Arya Malingkun ternyata tidak sudi menyerahkan anaknya, walaupun
sudah dijanjikan anaknya akan menjadi permaisuri, bukanlah untuk
dijadikan dayang-dayang, penjogetan atau gundik. Dia tetap berkeras hati
menolak. Utusanpun terpaksa pulang tanpa membawa hasil. Ketika Lembu
Mangkurat yang mendengar perintahnya ditolak menjadi sangat marah dan
mengambil keputusan untuk pergi sendiri ke Tanggahulin. Lembu Mangkurat
berangkat dengan perahu yang memakai tanda kebesaran dengan diiringi
oleh punggawa-punggawanya. Tidak berapa lama, tibalah dia di
Tanggahulin. Ketika orang-orang di sana melihat kedatangan Lembu
Mangkurat, orang-orang tersebut menjadi khawatir dan takut. Arya
Malingkun datang dengan segera mengelu-elukan dan mempersilakan Lembu
Mangkurat masuk ke dalam rumah. Dengan gusar dan marah Lembu Mangkurat
berkata, apakah Arya Malingkun bersedia untuk menyerahkan anaknya atau
tidak? Sekadar untuk menakut-nakuti anaknya, Lembu Mangkurat menikam
tangannya dengan pedang. Arya Malingkun terkejut melihat Lembu Mangkurat
sama sekali tidak terluka oleh senjata. Dengan agak ketakutan dia
memerintahkan orang-orang segera menyuruh menjemput anaknya untuk
diserahkan kepada Lembu Mangkurat. Setelah berhasil Lembu Mangkurat
kembali bersama gadis tersebut untuk menghadap raja. Tetapi kemudian
ternyata raja tidak mau kawin dengan Dayang Diparaja, karena yang
diinginkan adalah anaknya. Sekarang timbul kesulitan yang harus
dipecahkan. Siapakah yang harus mengawini gadis tersebut? Akhirnya semua
sependapat dan setuju bahwa hanya Lembu Mangkuratlah yang pantas dan
tepat untuk mengawini Dayang Diparaja. Perkawinan segera dilakukan.
Perayaan perkawinan itu berlangsung selama tujuh hari lamanya.
Tidak berapa lama kemudian, Dayang Diparaja hamil. Walaupun telah
cukup bulan dan harinya, dia belum juga melahirkan. Barulah sesudah lima
belas bulan terasa menderita sakit selama tiga hari hendak bersalin.
Dengan bermacam-macam cara dan syarat, dicoba untuk menjauhkan segala
pengaruh jahat tetapi semuanya sia-sia belaka, bahkan Lembu Mangkurat
sendiri telah putus asa. Tiba-tiba dari dalam kandungan ibu yang sakit
itu terdengar suara: “Ooh ayah Lembu Mangkurat, tidaklah melalui jalan
yang mudah anaknda akan lahir, tetapi ananda akan keluar dari sisi kiri
ibunda”, bedahlah dan perbuatlah ini untuk anaknda”. Sejurus lamanya
Lembu Mangkurat di dalam kebimbangan. Tetapi ternyata kewajibannya untuk
mempersembahkan seorang permaisuri kepada raja adalah beban yang lebih
berat lagi.
Lembu Mangkurat membedah sisi kiri perut Dayang Diparaja. Setelah
dibedah, Dayang Diparaja meninggal sesudah berpesan supaya menjaga
baik-baik anaknya. Seorang anak yang cantik lahir dengan perhiasan yang
biasanya dipakai oleh gadis-gadis. Lembu Mangkurat memberikan perintah
supaya menyusui anaknya yang diberi nama Putri Huripan. Tiga hari
lamanya Putri Huripan tidak mau menyusu. Akhirnya dia sendiri mengatakan
bahwa hanya akan minum air susu dari kerbau putih. Ayahnya, Lembu
Mangkurat dengan segera memenuhi permintaan tersebut. Sejak itulah
terjadi pantangan (tabu) bagi keturunannya untuk memakan daging kerbau
putih.
Ketika Arya Malingkun dan istrinya mendengar kematian anaknya, Dayang
Diparaja, merekapun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak anak yang
mereka dicintai tersebut. Sebelum meninggal dunia, Arya Malingkun
memakan sirih dan pinang muda, sedangkan istrinya memakan sirih dan
pinang tua. Mereka memerintahkan pesuruhnya untuk menanam sepah itu di
dalam tanah. Dari sepah tersebut tumbuh jariangau dan pirawas yang akan
berguna untuk obat cucunya Putri Huripan. Inilah asal mula jariangau dan
pirawas tumbuh di Tanggahulin yang sejak saat itu disebut Huripan.
Ketika Putri Huripan sudah akil baligh, dia pun dipersembahkan kepada
Raja Suryaganggawangsa sebagai calon permaisuri. Dengan segala upacara
kebesaran, perkawinannya dirayakan. Sebagaimana lazimnya, kedua mempelai
dimandikan di pancuran air (padudusan) dan kemudian diarak kembali ke
istana. Beberapa lama kemudian, permaisuripun melahirkan seorang Putri
bernama Putri Kalarang. Setelah Putri ini dewasa, dia dikawinkan dengan
saudara raja, Pangeran Suryawangsa. Karena hanya Pangeran Suryawangsa
sajalah yang layak untuk mengawininya.
Putri kalarang kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama
Raden Carang Lalean. Raden Suryawangsa juga masih mendapat karunia
seorang putri yang diberi nama Putri Kalungsu. Atas keinginan Raja
Suryaganggawangsa, kedua anak ini, Raden Carang Lalean dan Putri
Kalungsu dikawinkan. Pada waktu inilah Arya Megatsari dan Tumenggung
Tatah Jiwa meninggal dunia.
Pada suatu hari, semua keluarga dan pegawai istana sedang berkumpul
dan bersenang-senang, maharaja Suryaganggawangsa dan putri Huripan
menerangkan bahwa mereka akan “kembali ke asal”. Kepada Lembu Mangkurat
diamanatkan supaya Raden Carang lalean dan Putri Kalungsu diajarkan adat
turun-temurun dari raja-raja terdahulu. Lembu Mangkurat mencoba supaya
raja dan permaisuri memalingkan pikiran agar menunda “kembali ke asal”.
Tetapi sebelum itu, keduanya telah “menghilang” dari pandangan semua
mata yang hadir.
Atas perintah Lembu Mangkurat, dibangunlah sebuah mahligai dan
padudusan. Dengan disertai tembakan meriam dan tabuhan gamelan, Raden
Carang Lalean dan Putri Kalungsu dimandikan dengan segala upacara.
Kemudian raja baru itu pun meletakkan mahkota di atas kepalanya. Di
dalam peraturan negara tidak ada perubahan yang diadakan. Setiap hari
Sabtu tetap diadakan kesempatan untuk menghadap raja. Tak lama kemudian
permaisuri melahirkan seorang putra yang dinamai Raden Sekar Sungsang.
Ketika putra raja itu berumur enam tahun, raja menerangkan akan “kembali
ke asal”. Dia menyerahkan pemerintahan kepada Lembu Mangkurat,
sementara putra raja belum dewasa. Kemudian raja pun lenyap dari
pandangan mata hingga menimbulkan kesedihan seluruh rakyat dan keluarga
istana.
Tidak lama sesudah itu, suatu waktu Putri Kalungsu membuat kue
juadah. Raden Sekar Sungsang yang masih muda belia itu kadang-kadang
mendekati ibunya untuk meminta makan. Karena juadah itu belum masak,
ibunya menyuruh Raden Sekar Sungsang pergi dahulu. Tetapi akhirnya,
Raden Sekar Sungsang tidak dapat lagi menahan selera nafsunya.
Diambilnyalah sedikit kue juadah itu. Melihat hal ini, ibunya menjadi
gusar. Dia kemudian memukul Raden Sekar Sungsang dengan sebuah sendok
gangsa ke kepalanya.
Dengan kepala yang bercucuran darah, Raden Sekar Sungsang lari yang
makin lama makin jauh. Akhirnya dia tidak diketahui siapa pun juga.
Kemudian dia dilihat oleh seorang pedagang bernama Juragan Balaba yang
datang ke Negara Dipa untuk berniaga. Juragan Balaba waktu itu telah
menduga bahwa anak tersebut bukanlah anak yang biasa saja, karena dari
tubuhnya mengeluarkan cahaya yang bersinar. Karena anak buah kapal ingin
segera berangkat, Juragan Balaba pun memutuskan untuk segera berlayar
membawa Raden Sekar Sungsang.
Tak lama kemudian permaisuri menitahkan mencari anaknya ke semua
pelosok tapi sia-sia saja usahanya itu. Hanya ada beberapa orang saja
yang menerangkan bahwa mereka melihat sebuah kapal berlayar dengan
membawa seorang anak, tetapi mereka juga tidak dapat memastikan apakah
anak itu Raden Sekar Sungsang yang sedang dicari? Walaupun kapal itu
dikejar namun tak ketemu juga karena sudah menuju laut lepas. Lembu
Mangkurat kemudian menitahkan menyiapkan empat buah kapal untuk pergi ke
seberang lautan. Akhirnya kapal-kapal itu sampai di Surabaya. Di
sinilah diadakan penyelidikan dimana-mana, tetapi tak seorang pun dapat
memberikan penjelasan.
Setiap saat Lembu Mangkurat mengirim penyelidik-penyelidik tetapi
jejak anak itu tetap tidak ditemukan juga. Raden Sekar Sungsang yang
sementara itu bergelar Ki Mas Lelana, telah dianggap Juragan balaba dan
istrinya sebagai anak kandung mereka sendiri. Ayah dan bundanya ini
ingin segera dia beristri, tetapi Ki Mas Lelana sendiri belum mempunyai
keinginan. Juga setelah ayah angkatnya itu meninggal, Ki Mas Lelana
tetap tinggal di Surabaya.
Pada suatu hari dia menerangkan cita-citanya untuk pergi ke Negara
Dipa bersama dengan Juragan Dampu Awang untuk berniaga. Mula-mula ibu
angkat Ki Mas Lelana menahannya, tetapi karena Ki Mas Lelana sudah
berketetapan hati untuk pergi, dengan perasaan sedih ibu angkatnya
akhirnya mau melepas kepergiannya itu. Dengan segera mereka menyeberangi
lautan. Tatkala mereka sampai di Negara Dipa, maka Dampu Awang dan Ki
Mas Lelana mulai berniaga. Lembu Mangkurat juga ikut berbelanja pada
Dampu Awang dan Ki Mas Lelana. Bahkan Lembu Mangkurat mengharap supaya
Ki Mas Lelana tinggal di Negara Dipa sampai musim yang akan datang dan
dia akan meyerahkan sebuah rumah dengan pekarangannya. Juragan Dampu
Awang diperintahkan supaya memberitahukan hal ini kepada ibu angkat Ki
Mas Lelana, bahwa dia akan kembali ke Jawa tahun depan.
Sementara itu Lembu Mangkurat mencoba menganjurkan Putri Kalungsu
supaya kawin lagi. Dia mengabarkan bahwa seorang saudagar muda turunan
dari Raja Majapahit, muda dan tampan sekarang sedang tinggal di
rumahnya. Mula-mula permaisuri itu tidak mau, tetapi kemudian ia berubah
pikiran dan meminta supaya orang asing itu datang menghadapnya pada
hari Sabtu.
Dengan suatu upacara kebesaran, keesokan harinya Lembu Mangkurat yang
berpakaian indah dan memakai tanda-tanda kebesaran menuju ke Sitiluhur.
Begitu juga dengan Ki Mas Lelana. Ketika tiba di Sitiluhur, duduklah
dia di belakang Lembu Mangkurat. Tatkala Putri Kalungsu memandang ke
arah pemuda yang gagah itu, maka putri pun jadi jatuh cinta kepadanya.
Tatkala Lembu Mangkurat meminta jawaban, Putri Kalungsu menyatakan
persetujuannya untuk kawin.
Sebuah padudusan didirikan dalam tujuh hari lamanya. Perkawinan itu
dilakukan dengan adat istiadat raja-raja yang terdahulu. Sebagaimana
diketahui, Ki Mas Lalana adalah keturunan Raja Majapahit. Oleh karena
tidak dilahirkan ke dunia melalui proses bertapa, dia tidak dapat
menjadi seorang raja. Seandainya dari perkawinan itu lahir seorang
putra, dialah yang akan menjadi raja, karena ibunya berasal dari raja
yang lahir dari kekuatan gaib. Dengan demikian, untuk sementara waktu
Lembu Mangkurat tetap menjadi wakil raja di Negara Dipa.
Ketika suatu hari Putri Kalungsu sedang membersihkan kepala suaminya,
dia melihat tanda bekas luka dan menanyakan sebab-sebabnya. Mula-mula
Ki Mas Lelana menerangkan bahwa ia sendiri pun tidak mengetahuinya.
Tetapi ketika istrinya terus-menerus mendesak, akhirnya dia menceritakan
bagaimana kisahnya ketika masih kecil. Pada suatu hari dia mendapat
pukulan dikepala dari ibunya hingga luka, karena meminta berulang-ulang
juadah yang sedang dengan ditanak sehingga membuat gusar hati ibunya.
Diceritakannya pula bahwa dia kemudian lari dan beberapa tahun
tinggal di Jawa karena dibawa oleh Juragan Balaba. Selain itu dia tidak
tahu apa-apa. Dengan terperanjat Putri Kalungsu menolak kepala suaminya
dari pangkuannya. “Jika demikian engkau adalah anakku Sekar Sungsang”
menjerit Putri Kalungsu. Ki Mas Lelana meniarap dengan menangis di kaki
ibunya dan memohon ampun serta mengharap supaya membunuhnya.
Putri Kalungsu memanggil Lembu Mangkurat dan kepadanya diceritakan
peristiwa yang mengejutkan itu. Lembu Mangkurat tidak mengambil suatu
keputusan, mengharap supaya permaisuri sendiri harus memutuskan, apakah
yang harus dibuat? Dengan ini permaisuri menetapkan bahwa mereka harus
bercerai untuk selama-lamanya, dan permaisuri mengganti nama anaknya
dengan Raden Sari Kaburungan.
Selanjutnya sejak itu Raden Sari Kaburungan dan ibunya, Putri
Kalungsu mempunyai tempat tinggal yang terpisah. Kemudian Raden Sari
Kaburungan dinobatkan menjadi raja.
Setahun kemudian raja memindahkan kedudukan negara ke Muara Hulak.
Kedudukan baru itu disebut Negara Daha dan sampai sekarang ini tempat
itu masih bernama Negara. Di Muara Bahan dibuat sebuah pangkalan
(pelabuhan) yang kemudian ramai sekali didatangi para pedagang.
(Ras, Johanes Jacobus. 1990. Hikayat Banjar, Disertasi Leaden, Terjemahan oleh Siti Hawa Salleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.)